BAB III
GEOLOGI UMUM
III.1. Geologi
Regional
Kerangka tektonik regional Indonesia bagian barat
terdiri dari paparan sunda yang stabil, jalur geosinklin yang terdiri dari
busur dalam vulkanic dan busur luar non vulkanic. Busur dalam
vulkanis memanjang dari Sumatera bagian barat sampai Pulau Jawa bagian tengah.
Busur non vulkanic merupakan jalur pulau-pulau disebelah barat Sumatera
hingga pegunungan samudera di selatan Pulau Jawa (Koesoemadinata &
Pulonggono, 1975). Cekungan Sumatera Selatan termasuk pada daerah Indonesia
bagian barat, merupakan salah satu cekungan sedimen tersier yang berada pada
zona antara Paparan Sunda dan busur dalam vulkanik (gambar III.1.)
Gambar
III.1. Skema Sayatan Tegak Stratigrafi Cekungan Sumatera Selatan (Pulonggono,
1986)
Daerah telitian termasuk dalam Cekungan Sumatera
Selatan, Sub Cekungan Jambi yang berada di sayap utara Depresi Jambi. Cekungan Sumatera Selatan dibatasi Daratan
Sunda di sebelah timur laut, Tinggian Lampung di sebelah tenggara, Pegunungan
Bukit Barisan disebelah barat daya serta Pegunungan Dua Belas dan Pegunungan
Tiga Puluh di sebelah barat laut. Cekungan Sumatra Selatan dibagi menjadi dua
sub cekungan utama, antara lain :
·
Sub Cekungan Palembang
·
Sub Cekungan Jambi
Gambar III.2. Pembagian
Cekungan Sumatera Selatan
(Pertamina, 1988, dalam
Setyo Mulyo, 1999)
Cekungan Sumatera Selatan merupakan salah satu
bagian dari Cekungan Sumatera Timur. Cekungan ini pola pengembangan tektoniknya
sangat dipengaruhi oleh sesar-sesar mendatar mengkanan Sumatera (Sesar Semangko)
yang terjadi akibat konvergen antara lempeng samudra Hindia-Australia dan
lempeng Mikrosunda yang serong (Davies P.R., 1984; Sukendar Asikin, 1988)
dengan sudut pertemuannya antara 15 – 30 derajat dibandingkan dengan kekuatan
penunjaman. Pola tektonik tersebut menghasilkan cekungan-cekungan Pull Apart
Basin (Rodgers, 1980 Vide Davies P.R., 1984 vide Sukendar Asikin, 1988)
yang dicirikan oleh :
·
Proses pengendapan yang tinggi
·
Pola asimetri dari urutan-urutan sedimen dan fasies
·
Bentuk pengendapan menunjukan batas dengan sesar pada bagian
tepi cekungan (gambar III.3.)
Gambar III.3. Pembentukan Pull Apart Basin
dengan ciri pengendapannya
(Sukendar
Asikin, 1988)
III.2. Struktur Geologi Regional
Kawasan Indonesia bagian
barat (Sumatera, Jawa dan sebagian Kalimantan) merupakan bagian dari Sunda Land yang termasuk lempeng benua
Asia. Struktur tektonik Indonesia bagian barat dipengaruhi benturan lempeng
Benua Asia dengan lempeng kerak Samudra Hindia – Australia. Eubank dan Makki,
1981 (dikutip dari Setyo Nulyo K, 1999) berpendapat bahwa cekungan-cekungan di
Sumatera terjadi akibat dari benturan antara kedua lempeng tersebut, dimana
lepas pantai Sumatera Barat merupakan zona penekukan yang masih aktif (gambar
III.4.)
Gambar III.4. Peta Tektonik
Indonesia bagian Barat
(Eubank & Makki, 1981;
Setyo Mulyo K, 1999)
Cekungan Sumatera Selatan
merupakan salah satu dari cekungan-cekungan tersebut dan merupakan cekungan
busur belakang (back arc) (gambar
III.5.)
Gambar III.5. Skema
Penampang Melintang Cekungan Sumatera Selatan
(Pertamina EP – II, 1988;
Setyo Mulyo K, 1999)
Pada Akhir Kapur sampai Awal
Tersier (Eosen Awal - Oligoen Awal) di Indonesia bagian barat terjadi
pergerakan tektonik yang menghasilkan pola kekar dan sesar berarah
utara–selatan, baratlaut–tenggara dan timurlaut–baratdaya. Perkembangan dari
pergerakan lempeng-lempeng tersebut membentuk komplek sesar yang mengakibatkan
sobekan-sobekan pada kerak bumi sehingga membentuk depresi lokal dikenal
sebagai Pull Apart, sedangkan
disekitarnya terjadi tinggian-tinggian lokal (Davies, 1984; Sukendar Asikin,
1988). Depresi dan tinggian inilah yang membentuk konfigurasi batuan dasar
dimana merupakan tempat terakumulasinya endapan Tersier. Pada masa Tersier
terjadi gaya tension sehingga
sesar-sesar yang sudah terbentuk aktif kembali membentuk sesar tumbuh. Pada
masa Pliosen – Plistosen terjadi gaya kompresi yang membentuk lipatan dengan
arah baratlaut – tenggara dan mengakibatkan kembali sesar-sesar geser dan
sesar-sesar normal (gambar III.6.)
Gambar
III.6. Peta Struktur Sub Cekungan
Palembang dan Sub Cekungan Jambi (Modifikasi dari Pulunggono, 1983, Vide
Sukendar Asikin, 1988)
III.3. Stratigrafi Regional
Stratigrafi daerah Cekungan Sumatera Selatan telah
banyak dibahas oleh para ahli geologi terdahulu, khususnya yang bekerja
dilingkungan perminyakan. Pada awalnya pembahasan dititik beratkan pada sedimen
Tersier, umumnya tidak pernah diterbitkan dan hanya berlaku di lingkungan
sendiri.
Peneliti terdahulu telah menyusun urutan-urutan
stratigrafi umum Cekungan Sumatera
Selatan, antara lain : Van Bemmelen (1932), Musper (1937), Marks (1956), Spruyt
(1956), Pulunggono (1969), De Coster 2(1974), Pertamina (1981).
Berdasarkan peneliti-peneliti terdahulu, maka
Stratigrafi Cekungan Sumatera Selatan dibagi menjadi tiga kelompok yaitu
kelompok batuan Pra-Tersier, kelompok batuan Tersier serta kelompok batuan
Kuarter.
1.
Batuan Pra-Tersier
Batuan Pra-Tersier
Cekungan Sumatera Selatan merupakan dasar cekungan sedimen Tersier. Batuan ini
diketemukan sebagai batuan beku, batuan metamorf dan batuan sedimen (De Coster,
1974) Westerveld (1941), membagi batuan berumur Paleozoikum (Permokarbon)
berupa slate dan yang berumur Mesozoikum (Yurakapur) berupa seri fasies
vulkanik dan seri fasies laut dalam. Batuan Pra-Tersier ini diperkirakan telah
mengalami perlipatan dan patahan yang intensif pada zaman Kapur Tengah sampai
zaman Kapur Akhir dan diintrusi oleh batuan beku sejak orogenesa Mesozoikum
Tengah (De Coster, 1974).
2.
Batuan Tersier
Berdasarkan penelitian
terdahulu urutan sedimentasi Tersier di Cekungan Sumatera Selatan dibagi
menjadi dua tahap pengendapan, yaitu tahap genang laut dan tahap susut laut.
Sedimen-sedimen yang terbentuk pada tahap genang laut disebut Kelompok Telisa
(De Coster, 1974, Spruyt, 1956), dari umur Eosen Awal hingga Miosen Tengah
terdiri atas Formasi Lahat (LAF), Formasi Talang Akar (TAF), Formasi Baturaja
(BRF), dan Formasi Gumai (GUF). Sedangkan yang terbentuk pada tahap susut laut
disebut Kelompok Palembang (Spruyt, 1956) dari umur Miosen Tengah – Pliosen
terdiri atas Formasi Air Benakat (ABF), Formasi Muara Enim (MEF), dan Formsi
Kasai (KAF).
a.
Formasi Lahat (LAF)
Menurut
Spruyt (1956), Formasi ini terletak secara tidak selaras diatas batuan dasar,
yang terdiri atas lapisan-lapisan tipis tuf andesitik yang secara berangsur
berubah keatas menjadi batu lempung tufan. Selain itu breksi andesit
berselingan dengan lava andesit, yang terdapat dibagian bawah. Batulempung
tufan, segarnya berwarna hijau dan lapuknya berwarna ungu sampai merah
keunguan. Menurut De Coster (1973) formasi ini terdiri dari tuf, aglomerat,
batulempung, batupasir tufan, konglomeratan dan
breksi yang berumur Eosen Akhir hingga Oligosen Awal. Formasi ini
diendapkan dalam air tawar daratan. Ketebalan dan litologi sangat bervariasi
dari satu tempat ke tempat yang lainnya karena bentuk cekungan yang tidak
teratur, selanjutnya pada umur Eosen hingga Miosen Awal, tejadi kegiatan
vulkanik yang menghasilkan andesit (Westerveld, 1941 vide of side katilli
1941), kegiatan ini mencapai puncaknya pada umur Oligosen Akhir sedangkan
batuannya disebut sebagai batuan “Lava Andesit tua” yang juga mengintrusi
batuan yang diendapkan pada Zaman Tersier Awal.
b.
Formasi Talang Akar (TAF)
Nama
Talang Akar berasal dari Talang Akar Stage (Martin, 1952) nama lain yang pernah
digunakan adalah Houthorizont (Musper, 1937) dan Lower Telisa Member (Marks,
1956). Formasi Talang akar dibeberapa tempat bersentuhan langsung secara tidak
selaras dengan batuan Pra Tersier. Formasi ini dibeberapa tempat menindih
selaras Formasi Lahat (De Coster, 1974), hubungan itu disebut rumpang
stratigrafi, ia juga menafsirkan hubungan stratigrafi diantara kedua formasi
tersebut selaras terutama dibagian tengahnya, ini diperoleh dari data pemboran
sumur Limau yang terletak disebelah Barat Daya Kota Prabumulih (Pertamina,
1981), Formasi Talang Akar dibagi menjadi dua, yaitu : Anggota “Gritsand”
terdiri atas batupasir, yang mengandung kuarsa dan ukuran butirnya pada bagian
bawah kasar dan semakin atas semakin halus. Pada bagian teratas batupasir ini
berubah menjadi batupasir konglomeratan atau breksian. Batupasir berwarna putih
sampai coklat keabuan dan mengandung mika, terkadang terdapat selang-seling
batulempung coklat dengan batubara, pada anggota ini terdapat sisa-sisa
tumbuhan dan batubara, ketebalannya antara 40 – 830 meter. Sedimen-sedimen ini
merupakan endapan fluviatil sampai delta (Spruyt, 1956), juga masih menurut
Spruyt (1956) anggota transisi pada bagian bawahnya terdiri atas selang-seling
batupasir kuarsa berukuran halus sampai sedang dan batulempung serta lapisan
batubara. Batupasir pada bagian atas berselang-seling dengan batugamping tipis
dan batupasir gampingan, napal, batulempung gampingan dan serpih. Anggota ini
mengandung fosil-fosil Molusca, Crustacea, sisa ikan foram besar dan
foram kecil, diendapkan pada lingkungan paralis, litoral, delta, sampai tepi
laut dangkal dan berangsur menuju laut terbuka kearah cekungan. Formasi ini
berumur Oligosen Akhir hingga Miosen Awal. Ketebalan formasi ini pada bagian selatan cekungan mencapai 460
– 610 meter, sedangkan pada bagian utara cekungan mempunyai ketebalan kurang
lebih 300 meter (De Coster, 1974).
c.
Formasi Baturaja (BRF)
Menurut
Spruyt (1956), formasi ini diendapkan secara selaras diatas Formasi Talang
Akar. Terdiri dari batugamping terumbu dan batupasir gampingan. Di gunung Gumai
tersingkap dari bawah keatas berturut-turut napal tufaan, lapisan batugamping
koral, batupasir napalan kelabu putih, batugamping ini mengandung foram besar
antara lain Spiroclypes spp, Eulipidina
Formosa Schl, Molusca dan lain sebagainya. Ketebalannya antara 19 - 150
meter dan berumur Miosen Awal. Lingkungan Pengendapannya adalah laut dangkal.
Penamaan Formasi Baturaja pertama kali dikemukakan oleh Van Bemmelen (1932)
sebagai “Baturaja Stage”, Baturaja Kalk Steen (Musper, 1973) “Crbituiden Kalk” (v.d. Schilden, 1949;
Martin, 1952), “Midle Telisa Member”
(Marks, 1956), Baturaja Kalk Sten Formatie (Spruyt, 1956) dan Telisa Limestone (De Coster, 1974).
Lokasi tipe Formasi Baturaja adalah di pabrik semen Baturaja (Van Bemelen,
1932).
d.
Formasi Gumai (GUF)
Formasi
ini diendapkan setelah Formasi Baturaja dan merupakan hasil pengendapan
sedimen-sedimen yang terjadi pada waktu genang laut mencapai puncaknya.
Hubungannya dengan Formasi Baturaja pada tepi cekungan atau daerah dalam
cekungan yang dangkal adalah selaras, tetapi pada beberapa tempat di
pusat-pusat cekungan atau pada bagian cekungan yang dalam terkadang menjari
dengan Formasi Baturaja (Pulonggono, 1986). Menurut Spruyt (1956) Formasi ini
terdiri atas napal tufaan berwarna kelabu cerah sampai kelabu gelap.
Kadang-kadang terdapat lapisan-lapisan batupasir glaukonit yang keras, tuff,
breksi tuff, lempung serpih dan lapisan tipis batugamping. Endapan sediment
pada formasi ini banyak mengandung Globigerina
spp, dan napal yang mengeras. Westerfeld (1941) menyebutkan bahwa
lapisan-lapisan Telisa adalah seri monoton dari serpih dan napal yan mengandung
Globigerina sp dengan selingan tufa
juga lapisan pasir glaukonit. Umur dari formasi ini adalah Awal Miosen Tengah
(Tf2) (Van Bemmelen, 1949) sedangkan menurut Pulonggono (1986) berumur Miosen
Awal hingga Miosen Tengah (N9 – N12).
e.
Formasi Air Benakat (ABF)
Menurut
Spruyt (1956), formasi ini merupakan tahap awal dari siklus pengendapan
Kelompok Palembang, yaitu pada saat permulaan dari endapan susut laut. Formasi
ini berumur dari Miosen Akhir hingga Pliosen. Litologinya terdiri atas
batupasir tufaan, sedikit atau banyak lempung tufaan yang berselang-seling
dengan batugamping napalan atau batupasirnya semakin keatas semakin berkurang
kandungan glaukonitnya. Pada formasi ini dijumpai Globigerina spp, tetapi banyak mengadung Rotalia spp. Pada bagian atas banyak dijumpai Molusca dan sisa tumbuhan. Di Limau, dalam penyelidikan Spruyt
(1956) ditemukan serpih lempungan yang berwarna biru sampai coklat kelabu,
serpih lempung pasiran dan batupasir tufaan. Di daerah Jambi ditemukan berupa
batulempung kebiruan, napal, serpih pasiran dan batupasir yang mengandung Mollusca, glaukonit kadang-kadang
gampingan. Diendapkan dalam lingkungan pengendapan neritik bagian bawah dan
berangsur kelaut dangkal bagian atas (De Coster, 1974). Ketebalan formasi ini
berkisar 250 – 1550 meter. Lokasi tipe formasi ini , menurut Musper (1937),
terletak diantara Air Benakat dan Air Benakat Kecil (kurang lebih 40 km sebelah
utara-baratlaut Muara Enim (Lembar Lahat). Nama lainnya adalah “Onder Palembang Lagen” (Musper, 1937), “Lower Palembang Member” (Marks, 1956), “Air Benakat and en Klai Formatie”
(Spruyt, 1956).
f.
Formasi Muara Enim (MEF)
Menurut
Spruyt (1956) formasi in terlatak selaras diatas Formasi Air Benakat. Formasi
ini dapat dibagi menjadi dua anggota “a” dan anggota “b”. Anggota “a” disebut
juga Anggota Coklat (Brown Member)
terdiri atas batulempung dan batupasir coklat sampai coklat kelabu, batupasir
berukuran halus sampai sedang. Didaerah Palembang terdapat juga lapisan
batubara. Anggota “b” disebut juga Anggota Hijau Kebiruan (Blue Green Member) terdiri atas batulempung pasiran dan batulempung
tufaan yang berwarna biru hijau, beberapa lapisan batubara berwarna merah-tua
gelap, batupasir kasar halus berwarna putih sampai kelabu terang. Pada anggota
“a” terkadang dijumpai kandungan Foraminifera dan Mollusca selain
batubara dan sisa tumbuhan, sedangkan pada anggota “b” selain batubara dan sisa
tumbuhan tidak dijumpai fosil kecuali foram air payau Haplophragmoides spp (Spruyt, 1956). Ketebalan formasi ini sekitar
450 -750 meter. Anggota “a” diendapkan pada lingkungan litoral yang berangsur
berubah kelingkungan air payau dan darat (Spruyt, 1956). Lokasi tipenya
terletak di Muara Enim, Kampong Minyak, Lembar Lahat (Tobler, 1906)
g.
Formasi Kasai (KAF)
Formasi
ini mengakhiri siklus susut laut (De Coster dan Adiwijaya, 1973). Pada bagian
bawah terdiri atas batupasir tufan dengan beberapa selingan batulempung tufan,
kemudian terdapat konglomerat selang-seling lapisan-lapisan batulempung tufan
dan batupasir yang lepas, pada bagian teratas terdapat lapisan tuf batuapung
yang mengandung sisa tumbuhan dan kayu terkersikkan berstruktur sediment silang
siur, lignit terdapat sebagai lensa-lensa dalam batupasir dan batulempung tufan
(Spruyt, 1956). Tobler (1906) menemukan moluska air tawar Viviparus spp dan Union spp, umurnya diduga Plio-Plistosen.
Lingkungan pengendapan air payau sampai darat. Satuan ini terlempar luas dibagian
timur Lembar dan tebalnya mencapai 35 meter.
3.
Satuan Endapan Alluvial
Penyebaran
satuan ini meliputi daerah sungai dan tepian sungai-sungai besar berupa
meander-meander ditengah dan ditepi sungai. Ketebalan endapan alluvial ini
bervariasi, dan satuan ini terdiri dari hasil rombakan beku, batuan sedimen,
batuan metamorf yang bersifat lepas berukuran pasir halus hingga kerakal.